ANALISIS PUISI
BERDASARKAN STRATA NORMA INGARDEN DALAM SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWAR
DISUSUN OLEH
Nama: Elsy Susanti
NPM : 106210789
Kelas : 3G
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
TAHUN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa penulis
ucapkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, bimbingan, dan hidayahnya, sehingga makalah ini
dapat diselesaikan guna
memenuhi tugas perkuliahan ,yaitu mata kuliah “Puisi”.
Shalawat
serta salam marilah kita persembahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad saw ,semoga
kita termasuk kedalam golongan umat yang mendapatkan safaatnya di yaumil
mahsyar kelak ,amin ya rabbal alamin.
Makalah
ini berjudul “Analisis
Puisi berdasarkan Strata Norma Sajak-Sajak Chairil Anwar”. Makalah
ini jauh dari kesempurnaan sehingga penulis menerima kritik dan saran dengan
lapang hati.
Semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan
kita, khususnya selaku penulis,
dan disini penulis
mengucapkan ribuan maaf, sekiranya nanti dalam penulisan makalah ini ada yang
kurang jelas atau kurang tepat. Akhir kata kepada Allah mohon
ampun dan kepada saudara/saudari
penulis mohon
maaf.
Pekanbaru, 19 Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................v
DAFTAR
ISI.....................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.
Latar
Belakang......................................................................................................1
2.
Perumusan
Masalah.............................................................................................2
3.
Tujuan
Penulisan..................................................................................................3
BAB II TEORI dan METODE........................................................................................
4
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................5
1.
Datang
dara, Hilang dara.....................................................................................5
2.
Derai-derai
Cemara............................................................................................11
3.
1943.......................................................................................................................13
4.
PENGHIDUPAN.................................................................................................17
5.
Diponegoro...........................................................................................................20
BAB IV
PENUTUP..........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................24
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Ada tiga bentuk karya sastra, yaitu
prosa, puisi, dan drama. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling
awal ditulis oleh manusia. Karya-karya sastra lama yang berbentuk puisi adalah
Mahabharata, Ramayana dari India yang berbentuk puisi atau kavya (kakawin)
(Waluyo, 2003: 1). Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan,
dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan
kata-kata kias (imajinatif). Walaupun singkat dan padat, tetapi berkekuatan.
Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki
persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu memiliki makna yang lebih luas dan lebih
banyak (Ibid, 2003: 1).
Puisi yang
baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap
rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba
memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk
pemahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah
teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat
kita tarik dari perwujudan teks itu sendiri; pilihan katanya, rangkaian
sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan
kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhubungan dengan maksud yang
hendak disampaikan. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan
makna yang meyertai di belakang puisi bersangkutan (Mahayana, 2005: 260).
Dalam
memahami sajak / puisi diperlukan analisis-analisis tertentu, seperti dalam
makalah ini yang akan menganalisis “Kumpulan sajak Chairil Anwar yang menggunakan
analisis strata norma. Untuk menganalisis puisi setepat-tepatnya perlu
diketahui wujud dari puisi itu. Oleh karena itu, puisi atau sajak harus di
mengerti sebagai struktur norma-norma.
Pemakalah
berharap besar dalam adanya analisis strata norma “Kumpulan sajak Chairil Anwar”
ini mampu menjadi penawar bagi pembaca yang sempat teracuni oleh sajian sastra
yang ada, sehingga para penikmat puisi senja ini tidak lagi keracunan terutama
dalam memakai karya-karya Chairil Anwar, namun mengerti dan memahami bahwa
karya sastra memang tidak ada yang berubah secara menyeluruh, hanya saja
mengelupas dari kulit aslinya, dan membuat kulit yang baru, dimana kulit baru
itu suatu saat nanti juga akan mengalami hal serupa, terkelupas oleh
kulit-kulit barunya yang lain namun sesungguhnya tetap saja berdaging sama.
Pemaknaan dalam puisi berarti setiap
pembuatan puisi selalu dilandasi dengan proses pencarian makna sang penyair
tentang kehidupan ini untuk kemudian dituliskan, hingga terbentuklah sebuah
puisi. Sedangkan, emosi adalah salah satu aspek dalam puisi yang berarti segala
hal dalam diri manusia berkaitan dengan perasaan senang ataupun sedih yang
dijadikan landasan untuk membuat sebuah puisi. Bahasa dalam proses pembuatan
puisi erat sekali kaitannya dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang
melakukan satu-satunya proses komunikasi melalui media bahasa. Hal ini pula
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Lalu, ada imaji, yang merupakan
“gambaran-gambaran kata” yang sangat konkret, berkaitan dengan panca indera
seperti sentuhan, bau, rasa, suara, gerakan, dan terutama apa yang terlihat.
Imaji membuat pembaca mendapat pengalaman akan sesuatu dengan jelas.
Puisi merupakan sebuah struktur yang
kompleks, maka untuk memahaminya diperlukan analisis agar dapat diketahui
bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Untuk menganalisis puisi dengan
tepat, perlu diketahui wujud sebenarnya dari puisi tersebut. Menurut Rene
Wellek (1968:150), puisi adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman.
Oleh karena itu, puisi harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Norma itu
harus dipahamai secara implisit untuk menarik setiap pengalaman individu karya
sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.
2.
Tujuan Penulisan
Dalam
makalah ini bertujuan untuk menganalisis sajak-sajak Chairil Anwar dengan
menggunakan analisis puisi berdasarkan strata norma. Analisis strata norma bertujuan
untuk mengetahui ; bunyi-bunyi atau pola bunyi, untuk mengetahui satuan arti,
untuk mengetahui objek-objek yang dikemukakan dalam puisi, untuk memberikan
pandangan mengenai keduniaan yang dinyatakan pengarang di dalam karyanya, untuk
mengetahui sifat-sifat metafisis dalam puisi yang dapat memberikan renungan
kepada pembaca. Dengan demikian, semuanya itu digunakan untuk mendapatkan gaya
kepuitisan atau nilai seni yang terdapat pada “Kumpulan sajak-sajak Chairl
Anwar dengan mengupas sajak-sajak seperti sajak “Siap Sedia”, “Derai-Derai
Cemara”, “1943”, “Penghidupan”, “Diponegoro”.
3.
Manfaat penulisan
Dapat
memberikan pengetahuan bagaimana analisis puisi berdasarkan strata norma
menurut Roman Ingarden, Karya sastra yang di analisis dengan beberapa
lapis-lapis norma. Selain itu, dapat
memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang adanya semangat perjuangan yang
terdapat dalam diri Chairil Anwar, seperti pada sajaknya “Diponegoro”. Selain
itu, dapat memberikan pengalaman kepada para pembaca agar lebih mengerti
tentang karya sastra tersebut. Dan juga, dapat memberikan motivasi kepada
pembaca untuk lebih mengenal karya sastra.
BAB II TEORI DAN METODE
Karya sastra itu tidak hanya berupa satu sistem norma,
melainkan terdiri dari beberapa lapis norma. Masing-masing norma menimbulkan
lapis norma di bawahnya. Rene Wellek (1968:51) menganalisis norma-norma itu
sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Jika orang membaca
puisi, maka yang terdengar itulah yang merupakan rangkaian bunyi yang dibatasi
jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Namun, suara itu bukan hanya suara yang
tak memiliki arti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa yang disusun sedemikian
rupas sehingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara tersebut,
orang yang mendengarnya dapat memahami artinya. Lapis bunyi ini kemudian
menimbulkan lapisan di bawahnya, yaitu lapis arti.
Lapis norma kedua adalah lapis arti (units of meaning)
merupakan rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya
merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun sajak. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan
lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan
dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. Lapis-lapis norma tersebut
dikemukakan Rene Wellek (1968:151) berdasarkan analisis Roman Ingarden, seorang
filsuf Polandia, yang menuliskan perihal lapis norma tersebut dalam bukunya Das
Literarische Kunstwerk (1931). Romna Ingarden juga menambahkan dua lapis noma
lagi, yang kemudian dianggap oleh Wellek dapat dimasukkan dalam lapis yang
ketiga dan keempat. Lapis tersebut adalah lapis dunia dan lapis metafisis.
Lapis keempat adalah dunia dipandang sebagai suatu hal yang
tak perlu dinyatakan, karena sudah terkandung dalam sebuah puisi. Sebuah
peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau
“terlihat” dapat memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam watak tokoh. Sebagai
contoh, pintu berbunyi halus dapat memberikan sugesti bahwa yang membuka pintu
memiliki watak sangat hati-hati. Lalu, kondisi kamar yang terlihat dapat
memberikan sugesti watak orang yang tinggal di dalamnya.
Kemudian lapis yang terakhir adalah lapis metafisis, yang
merupakan lapisan yang memiliki sifat-sifat metafisis, yaitu sublim, tragis,
mengerikan atau menakutkan, dan suci. Sifat-sifat ini dapat memberikan renungan
(kontemplasi) kepada pembaca. Namun, tidak setiap puisi memiliki lapis
metafisis tersebut.
BAB III PEMBAHASAN
1.
SIAP-SEDIA
Tanganmu
nanti tegang kaku,
Jantungmu
nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu
nanti mengeras batu,
Tapi
kami sederap mengganti, terus memahat ini tugu.
Matamu
nanti kaca saja,
Mulutmu
nanti habis bicara,
Darahmu
nanti mengalir berhenti,
Terus
berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu
nanti diam ditekan,
Namamu
nanti terbang hilang,
Langkahmu
nanti enggan ke depan,
Tapi
kami sederap mengganti,
Bersatu
maju, ke Kemenangan.
Darah
kami panas selama,
Badan
kami tertempa baja,
Jiwa
kami gagah perkasa,
Kami
akan mewarna di angkasa,
Kami
pembawa ke Bahgia nyata.
1. LAPIS BUNYI/LAPIS
SUARA
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi
bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan
efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang
berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain
bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana
yang khusus, dan sebagainya. Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur
kepuitisan yang paling dominan (utama) pada sastra Romantik (abad ke-18 dan
19). Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis, mengatakan bahwa musiklah yang
paling utama dalam puisi. Slametmuljana menambahkan bahwa tiap kata (dalam
puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang
sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Dalam bait pertama sajak Siap sedia, terdapat kombinasi vokal (asonansi)
bunyi a dan u,: tanganmu, kaku, jantungmu, batu, tubuhmu, terus, maju. Selain
itu juga adanya aliterasi r: berdebar, berhenti, mengeras, sederap, terus.
Pada
bait kedua, adanya kombinasi bunyi-bunyi asonansi a, liquida r, l.
Matamu
nanti kaca saja,
Mulutmu
nanti habis bicara,
Darahmu
nanti mengalir berhenti,
Terus
berdaya ke Masyarakat Jaya.
Di
bait ketiga, adanya bunyi sengau m, n, ng.
Suaramu
nanti diam ditekan,
Namamu
nanti terbang hilang,
Langkahmu
nanti enggan ke depan,
Tapi
kami sederap mengganti,
Bersatu
maju, ke Kemenangan.
Bait
keempat adanya asonansi bunyi a:
Darah
kami panas selama,
Badan
kami tertempa baja,
Jiwa
kami gagah perkasa,
Kami
akan mewarna di angkasa,
Kami
pembawa ke Bahgia nyata.
Bait-bait
puisi di atas dikombinasi dengan bunyi asonansi a, u.
2. LAPIS ARTI
Lapis
arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai
dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17).
Lapis arti digunakan untuk memaknai puisi secara lebih lengkap dengan membuat
sebuah puisi dengan bahasa yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas
menceritakan isi puisi. Dalam bait pertama diceritakan bahwa angkatan para
pejuang yang telah gugur dan jasa-jasa mereka diabadikan dengan membuat tugu
atau monumen sebagai tanda jasa bagi mereka.
Bait
kedua, meskipun sebagai pengingat, hanya sebuah tugu itu merupakan sebagai
tanda jasa untuk para pejuang. Dan kami para generasi penerus akan meneruskan
perjuangan tersebut untuk menjadikan masyarakat menuju kekehidupan yang
merdeka.
Bait
ketiga, meskipun suaramu telah tiada, tetapi namamu tetap terukir menjadi
pahlawan kemerdekaan. Dan kami akan meneruskan perjuanganmu dengan bersatu
untuk maju dan menuju kemenangan.
Bait
keempat, dengan jiwa dan semangat juang yang tinggi yang telah teruji akan
membawa kepada kebahagiaan yang nyata, yaitu kemerdekaan.
3. LAPIS KETIGA
Lapis
berikutnya adalah lapis ketiga. Lapisan ini muncul setelah menganalisis lapis
artis arti. Wujud dari lapis ketiga ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam
sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18).
Dalam sajak Siap Sedia, lapis itu berupa:
a.) Objek-objek yang dikemukakan antara lain : tanganmu, jantungmu, tubuhmu,
batu, tugu, matamu, mulutmu, darahmu, masyarakat, kaca, suaramu, namamu, darah,
badan, baja, angkasa, bahgia.
b.) pelaku atau tokoh : kami
c.) latar tempat : di angkasa
d.) Dunia pengarang : cerita dan peristiwa, yang merupakan dunia yang
diciptakan oleh si pangarang. Dan itu merupakan gabungan dan jalinan antara
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur cerita, seperti:
Para
pahlawan yang telah gugur dan untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan nama
mereka diabadikan, ada yang dijadikan sebagai tugu, dan digunakan sebagai
pengingat. Dan meskipun para pahlawan telah tiada atau gugurkami siap untuk
melanjutkan atau menggantikan perjuangan beliau, yaitu dengan terus berupaya
untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka. Dan bahkan, kami siap untuk
menggantikan para pejuang pahlawan dengan bersatu dan maju untuk kemenangan
yaitu kemerdekaan RI. Segala kemampuan untuk menggantikan para pejuang telah
teruji dan tertempa. Kami akan mewujudkannya dengan dengan membawa kebahagiaan
yang nyata yaitu kemerdekaan RI.
4.
LAPIS KEEMPAT
Lapis keempat adalah lapis pembentuk makna dalam sajak, lapis ‘dunia’ yang
tidak perlu dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002;
18-19).
Dunia yang tidak perlu dinyatakan tetapi sudah implisit tampak sebagai berikut:
pada bait pertama, si kami memahat tugu yang bibuat untuk mengenang jasa para
pahlawan.
Bait
kedua, menyatakan si kami siap untuk menggantikan posisi para pahlawan yang
terus berjuang untuk menuju kemenangan.
Bait
keempat, menyatakan bahwa si kami akan membawa kebahagiaan yang nyata.
5.
LAPIS KELIMA
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan
ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 19).
Dalam sajak ini, lapis itu berupa pengungkapan tanda jasa para pahlawan
kemerdekaan yang telah gugur. Dan nama-nama mereka tetap abadi. Dan sekarang
para penerus yang melanjutkan perjuangan beliau dengan bersatu untuk mewujudkan
kebehagiaan nyata yaitu mewujudkan masyarakat yang jaya atau merdeka.
2. Derai-derai cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda-nunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
A. LAPIS
BUNYI
dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan
keindahaan dan tenaga ekspresif. Pola sajak yang terdapat pada sajak
“Derai-derai Cemara” a-b-a-b.
Pada bait
pertama adanya kombinasi bunyi asonasi a, i, dan bunyi sengau: m, n,ng.
Cemara
menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Pada bait
kedua, bersuasana berat dalamnya mengandung bunyi a,u yang dominan.
Aku
sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Serta adanya bunyi sengau ng, ny, n,
m: sekarang, orangnya, tahan, bukan, kanak, memang, bahan, yang, bukan,
perhitungan.
Bait ketiga,
adanya asonansi i, a, e:
Cemara
menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
seperti pada
bait tersebut yang difungsikan oleh penyair untuk menyatakan ketidakmampuan dia
menghadapi kenyataan yang akan datang. Diksi tersebut sangat kental dengan
aroma kematian dan kepasrahan. Karena, semula Chairil A. yang selalu
menggunakan kata-kata yang bersemangat pada puisi-puisi sebelumnya, kini mulai
menyadari akan arti hidup dan penyakitnya Tema pada puisi ini adalah kesadaran
akan perjalanan hidup yang selalu akan berakhir dan tak dapat dipungkiri bahwa
setiap yang bernyawa pasti akan mati.
B. LAPIS
ARTI
lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat.
Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti (Joko Pradopo, 2010:15).
Bait
pertama, menyatakan meskipun liku-liku perjalanan hidup itu panjang, tetapi
pada suatu saat pasti akan berakhir. Dan hal itu menjadi kesadaran akan
perjalanan hidup yang pasti akan berakhir walaupun belum tahu persis kapan
berakhirnya kehidupan itu datangnya. Yang pasti tak dapat dipungkiri bahwa
setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Bait kedua: yang berarti, si aku pada
saat ini bukanlah anak-anak lagi. Tetapi si aku sekarang sudah menjadi sosok
yang dewasa yang sudah mamiliki rasa bertanggung jawab.
Bait ketiga,
menyatakan bahwa sebenarnya hidup itu hanya menunda-nunda kekalahan. Yang pada
akhirnya apabila telah datang waktunya kita semua pasti akan menyerah, yaitu
menyerah pada kematian yang datang menjemput.
C. LAPIS OBJEK
Objek objek yang ada dalam puisi ini adalah : aku, pohon cemara, angin, dahan,
cinta, dan sekolah.
Pelaku atau tokoh : si aku
Latar waktu : malam hari
Latar tempat : rumah
D. LAPIS DUNIA
Lapis ini yang dipandang dari dari titik pandang tertentu yang tidak perlu
dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya atau sudah tampak.
Bait
pertama, perjalanan hidup yang akan merapuh dan berakhir. Karena begitulah
perjalanan kehidupan manusia.
Bait kedua, si
aku bukalah anak-anak yang biasanya hanya bermain-main. Tetapi aku telah
berubah menjadi sosok yang dewasa penuh dengan tanggung jawab.
Bait ketiga,
hidup ini penuh dengan penderitaan, sebelum pada akhirnya kita menyerah pada
kematian.
E. LAPIS
METAFISIS
lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis,
mengerikan ataumenakutkan dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat
memberikan kontemplasi pada pembacanya (Joko Pradaopo, 2010:15).
Pada puisi
ini lapis metafisis berupa kesadaran akan perjalanan hidup yang pastinya akan
berakhir dan tak dapat dielakkan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan
menyerah, yaitu menyerah pada kematian.
3. 1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu teras di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
1. LAPIS
BUNYI
Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam kesustraan, maka bunyi ini pernah
menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantik, yang timbul sekitar
abad ke-18, 19 di Eropa Barat (Selametmuljana, 1956:56).
Pembahasan
lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat “istimewa” atau
khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau
nilai seni.
Pada baris pertama,
ada asonansi a dan aliterasi r: racun berada di reguk pertama.
Di baris
kedua adanya asonansi a dan u: membusuk rabu terasa di dada.
Pada baris
ketiga ada asonansi a: tenggelam darah dalam nanah.
Pada baris keempat adanya asonansi a dan
aliterasi m: malam kelam membelam.
Pada baris
kelima ada kombinasi asonansi a, u, dan konsonan tidak bersuara k, p, t, s:
jalan kaku lurus.
Pada baris
keenam dan tujuh adanya bunyi sengau m, n: candu, tumbang.
Pada baris kedelapan ada asonansi a: tanganku
menadah patah.
Pada baris kesembilan hingga baris kedua puluh
enam, adanya asonansi u, e, a:
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
Jadi, di
dalam sajak ini yang paling dominan adalah asonansi vocal berat a dan u:
Racun berada
di reguk pertama
Membusuk rabu teras di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
2. LAPIS ARTI
Baris 1-5 menyatakan bahwa suasana yang sangat tidak enak. Suasana tersebut
sama seperti halnya pada saat indonesia di jajah oleh jepang. Kihidupan pada
masa itu yang penuh dengan penindasan kekejaman dan kezaliman.
Pada baris keenam hingga baris ketiga belas, penyair mengungkapkan bahwa
dirinya larut dalam hiruk pikuk suasana itu, ia hanya bisa pasrah dan berdoa
tetapi semua itu hanya sia-sia saja.
Pada baris kesembilan belas setelah berusaha dengan berdoa tetapi hasilnya
tidak ada atau tampak, penyair pun berusaha lagi dengan penuh semangat untuk
bangkit dan melawan. Meskipun dengan jiwa yang tidak berdaya, tetapi tetap
tidak menyerah.
Namun demikian keadaan tetap tak berubah. Maka penyair pun menyadari bahwa
itulah takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
3. LAPIS DUNIA
Menceritakan suasana yang dirasakan sangat tidak enak, sangat pahit. Sama
seperti halnya pada masa penjajahan Jepang terhadap indonesia. Dan
mengungkapkan bahwa penyair larut dalam suasana itu. Dengan selalu memberikan
pengharapan dan berdo’a dan penyair pun dengan penuh semangat bangkit memberontak.
Tetapi semua usaha-usaha tersebut hanya sia-sia, dan penyair hanya bisa pasrah
dengan takdir yang telah di tetapkan oleh Tuhan.
4. LAPIS
METAFISIS
Dalam sajak ini lapis metafisis yang terkandung berupa, Suasana yang sangat
tidak enak dan sangat pahit. Suasana itu, ia hanya pasrah, hanya berdo’a,
tetapi tidak ada hasilnya. Meskipun ia tak berdaya, jiwanya tetap tidak
menyerah. Namun demikian keadaan tetap tidak berubah. Maka ia pun hanya
menyadari bahwa itulah takdir yang telah ditetapkan Tuhan.
Contoh :
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Susunan
karya sastra begitu kompleksnya, unsur-unsurnya yang membentuk keseluruhan
karya sastra begitu kompleksnya, erat berjalinan. Sebuah karya sastra merupakan
suatu sistem norma. Sebab itu, untuk memberi penilaian karya sastra tak
dapatlah ditinggalkan pekerjaan menganalisis atau menguraikan karya sastra itu
kedalam unsur-unsurnya atau sistem normanya.
4. PENGHIDUPAN
Lautan
maha dalam
Mukul
dentur selama
Nguji
tenaga pematang kita
Mukul
dentur selama
Hingga
hancur remuk redam
Kurnia
bahagia
Kecil
setumpuk
Sia-sia
dilindungi, sia-sia dipupuk.
(1) LAPIS SUARA (Sound Stratum)
Sajak
tersebut berupa rangkaian satuan suara, yaitu suara suku kata, kata, kelompok
kata dan suara kalimat. Satuan-satuan suara itu adalah satuan suara berdasarkan
sistem bunyi bahasa. Misalnya satuan suara suku kata: lau-tan, ma-ha, da-lam, bah-gia,
dan sebagainya. Satuan suara kata: hingga, tenaga, dentur, setumpuk, dan
seterusnya. Satuan-satuan suara tersebut berangkai hingga merupakan keseluruhan
suara sajak itu. Tetapi dalam karya sastra khususnya puisi, disamping satuan
suara berdasarkan konvensi bunyi bahasa, ada satuan-satuan suara berdasarkan
konvensi sastra (puisi) yang bersifat khusus, seperti asonansi, aliterasi, pola
sajak (awal, dalam, tengah dan akhir), kiasan suara dan orkestrasi. Semua itu
untuk mendapatkan efek kepuitisan atau nilai seni. Satuan-satuan suara yang
khusus tersebut sebagai berikut.
Dalam
bait pertama adanya asonansi a, u dan aliterasi m, n, ng serta bunyi liquida l,
r. Sehingga menimbulkan bunyi yang merdu (efoni). Misalnya pada bait:
Lautan
maha dalam
Mukul
dentur selama
Nguji
tenaga pematang kita
Bait
kedua adanya kombinasi bunyi-bunyi tidak merdu, parau, dan penuh dengan bunyi
k, p, t, s atau bunyi konsonan tidak bersuara. Sehingga menimbulkan bunyi
kakofoni. Dan bunyi kakofoni ini memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
kacau balau, serta tidak teratur, dan bahkan memuakkan.
Mukul
dentur selama
Hingga
hancur remuk redam
Kurnia
bahagia
Kecil
setumpuk
Sia-sia
dilindungi, sia-sia dipupuk.
Pola
sajak akhirnya: a-b-b: bahagia-setumpuk-dipupuk. Kombinasi asonansi, aliterasi,
dan sajak akhir merupakan orkestrasi yang merdu dan berirama. Sedangkan bunyi
konsonan tak bersuara menimbulkan adanya kombinasi bunyi kakofoni. Dengan Begitulah,
unsur bunyi dapat memperdalam arti, memperjelas tanggapan, dan memperdalam
perasaan.
(2)
LAPIS ARTI (Units of Meaning)
Fonem, suku kata, kata, kelompok kata, dan kalimat dalam sajak tersebut
merupakan satuan-satuan arti. Akan tetapi, dalam sajak satuan arti minimum
adalah kata, dan satuan terluas adalah kalimat. Arti kata-katanya adalah arti
leksikal seperti dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi (karya sastra) ada arti
lain berdasarkan konvensi sastra, misalnya arti kiasan.
Dalam bait pertama:
Lautan maha dalam
Mukul
dentur selama
Nguji
tenaga pematang kita
Yang
berarti hidup itu merupakan bagian dari ujian. Seperti ombak di lautan selalu
datang silih berganti, yang mewarnai keindahan lautan. Dan demikian juga hidup.
Pada
bait kedua:
Mukul
dentur selama
Hingga
hancur remuk redam
Kurnia
bahagia
Kecil
setumpuk
Sia-sia
dilindungi, sia-sia dipupuk.
Yang
berarti ujian-ujian yang datang baik
yang kecil maupun ujian yang besar sekali pun, itulah yang akan mengantarkan
kepada kebahagiaan.
(3) LAPIS OBJEK
Lapis satuan-satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Objek-objek yang dikemukakan berupa: lautan, tenaga, dentur, hancur, remuk,
redam, kurnia, bahgia.
Pelaku atau tokoh: si kita
Latar waktu: sekarang, selamanya. Latar tempat: lautan.
Dunia pengarang disini adalah peristiwa, cerita, ataupun gambaran angan-angan
yang diciptakan oleh pengarang. Dunia pengarang ini merupakan penggabungan
antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dengan perbuatannya, dan
peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan.
(4) LAPIS DUNIA
Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah tersirat atau implisit
itu, sebagai berikut.
Dipandang dari sudut tertentu, yaitu dari objek-objek: lautan, tenaga, dentur,
hancur, remuk, redam, kurnia, bahgia.
Bait pertama: menyatakan bahwa penghidupan merupakan penguji bagi kita.
Bait
kedua: dan untuk mencapai penghidupan yang bahagia itu, paasti tentunya di
lalui dengan ujian atau cobaan yang akan menjadi warna di dalam kehidupan.
(5) LAPIS METAFISIS
Lapis kelima adalah lapis metafisik yang menyebabkan pembaca berkontemplasi
atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam sajak. Dalam sajak ini dikemukakan bahwa
di dalam perjalanan kehidupan manusia itu pastinya ada diselingi atau di lalui
dengan ujian-ujian. Meskipun harus dengan remuk redam.
5. DIPONEGORO
Di masa
pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
1.
LAPIS BUNYI/
LAPIS SUARA
Bunyi di
samping sebagai hiasan dalam puisi, juga mempunyi tugas yang lebih penting
lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, untuk menimbulkan rasa, dan menimbulkan
bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Dalam puisi
di atas adanya kombinasi antara bunyi vokal (asonansi) : a, i dengan bunyi
sengau (nasal) : m, n, ng menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama (efoni). apiBunyi-bunyi
merdu dalam sajak ini memperkuat efek semangat juang dan pengorbanan. Seperti
pada bait:
Di masa
pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan
sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Pola sajak
akhirannya a-a-b-b. Seperti pada bait:
Maju
Serbu
Serang
Terjang
2.
LAPIS ARTI
Puisi itu
adalah unsur yang kompleks. Puisi itu mempergunakan banyak sarana kepuitisan
secara bersama-sama untuk mendapatkan jaringan efek yang sebanyak-banyaknya
(Altenbern, 1970: 4-5). Karena puisi itu merupakan struktur yang kompleks, maka
untuk memahaminya (atau untuk memberi makna) harus dianalisis (Hill, 1966: 6).
Dengan dianalisis itu diketahui unsur-unsurnya yang bermakna atau yang harus
diberi makna.
Bait
pertama: kekaguman pengarang terhadap sosok diponegoro. Yang mana beliau hadir
disaat bangsa indonesia sedang mengalami masa-masa pembangunan menuju
kemerdekaan. Dan melihat begitu bergairahnya sang pangeran mempertahankan hidup
ini. Dengan tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang,meski lawan yang dihadapi
banyak sekalipun.
Bait kedua:
bagi sang pangeran seakan-akan semua permasalahn hidup ini sudah beliau alami. Meskipun
tahu bahwa dia akan kehilangan hidupnya sang pangeran tetap tegak tak gentar
dihadapan lawan banyaknya seratus kali. Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari
kehidupan itu sendiri. Dan dengan bersenjatakan pedang dan keris dan
bersandarkan akan semangat yang terus berkobar dan tidak pernah padam. Beliau
bersama barisan pasukannya terus bergerak untuk melawan.
Bait ketiga:
keyakinan sang pangeran untuk melawan penjajah meskipun nyawa menjadi
taruhannya. Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan dan hidup hanya
sekali. Untuk itu lakukanlah hal yang berarti demi bangsa indonesia.
Bait
keempat: sang pangeran berjuang untuk tanah air yang identik dengan kemerdekaan.
Dan belliau berprinsip lebih baik punah dari pada hidup menghamba, lebih baik
binasa dari pada hidup tertindas. Beliau harus merasakan hal itu, yang baru
setelah beliau menemui ajalnya
Bait kelima:
dengan semangat yang tinggi m ereka bersemboyan “Maju, Serbu, Serang, Terjang”,
demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa indonesia.
3.
LAPIS OBJEK
Objek yang
dikemukakan: lawan, pedang, keris, api, negeri, barisan, ajal, tanda, mati,
hidup, pembangunan.
Pelaku atau
tokoh: tuan Diponegoro
Latar waktu:
di masa pembangunan
Latar
tempat: di depan sekali, medan perang, suatu negeri
Dunia
pengarang: peristiwa, cerita, serta mengenai kekaguman pengarang terhadap
tokoh. Dunia pengarang ini merupakan cerita kekaguman pengarang terhadap sosok
Diponegoro. Yang selanjutnya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang
dialami oleh sang tokoh.
4.
LAPIS DUNIA
Lapis dunia
sudah implisit atau tampak, seperti pada bait pertama: dipandang dari sudut
pandang tertentu tuan Diponegoro hadir dimasa pembangunan.
Pada bait
kedua: tuan Diponegoro terus maju untuk melawan musuh tanpa rasa gentar dan
takut.
Bait ketiga:
berjuang demi kemerdekaan negeri, karena hidup hanyalah sekali.
Bait
keempat: dari pada hidup harus terus dijajah dan ditindas lebih haik mati saja.
Bait kelima:
semangat yang terus maju untuk melawan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa
indonesia.
5.
LAPIS
METAFISIS
Lapis
metafisis merupakan renungan kebulatan pikiran atau perhatian seutuhnya yang
menyebabkan pembaca terkontemplasi. Dalam sajak ini lapis ini berupa semangat perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air Indonesia dari belenggu-belenggu
penjajah (lawan). Tanpa gentar dan hanya bermodalkan semangat juang yang tinggi
dan terus menanamkan semangat-semangat juang kepada para barisan-barisan
pejuang.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis strata norma Roman Ingarden pada “Kumpulan sajak Chairil Anwar” dapat
disimpulkan bahwa, baik
tidaknya karya sastra dapat dinilai setelah unsur-unsur atau sistem norma karya
sastra diuraikan terlebih dahulu. Sistem norma karya sastra terdiri dari
beberapa lapis norma, diantaranya; lapis suara, lapis arti, lapis objek, lapis
“dunia” dan lapis metafisika.
SARAN
Berdasarkan
analisis di atas, dapat dilihat bahwa proses analisis terhadap sebuah karya,
dalam hal ini puisi, harus melibatkan segala aspek yang memungkinkan untuk
digunakan. Tidak bisa didikotomikan antara analisis berdasarkan lapis norma
saja atau semiotika belaka. Namun, proses analisis harus melibatka keduanya.
Hal ini dilakukan agar dapat mengurai isi sebuah puisi, hingga dapat ditemukan
maksud yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Hal ini juga dilakukan agar
sebuah puisi tidak kehilangan fungsi estetiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Zaenal. 1996. Edisi
Kritis Puisi Chairil Anwar. Cetakan I. Jakarta: Dian Rakyat.
Pradopo, Rahmat Djoko, 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/oase-budaya-diponegoro.html